Penyegelan rumah warga Pulau Pari
Pasca putusan sidang Pengadilan Negri Jakarta Utara yang menyidangkan pak Edi, yaitu warga yang dikriminalisasi PT. Bumi Raya Griyanusa terkait tuduhan penyerobotan lahan yang dimenangkan pihak perusahaan. Setelah putusan tersebut pihak perusahaan merasa diatas angin. Pada hari Rabu jam 14.00 Wib (22/6), Sebanyak 7 orang satpol PP Kepulauan Seribu, 6 orang polisi, 1 anggota TNI dari Koramil (syamsul), 6 orang dari dinas tata ruang dan 4 dari Kelurahan Pulau Pari (Ma’mun, salah satunya) menyegel gubuk salah satu warga Pulau Pari yaitu gubuk Bu Susi, alasan Pemerintah melakukan penyegelan yaitu karena gubuk tersebut menyalahi tata ruang.
Melihat gubuknya disegel Bu Susi pingsan dan dilarikan ke Poskesmas oleh warga setempat. Kejadian ini terkait sengketa tanah dimana sebuah perusahaan yang bernama PT. Bumi Raya Griyanusa mengklaim tanah di Pulau Pari 90% milik mereka sedangkan warga telah menetap disana lebih dari empat generasi. Ujar Sahrul (Ketua FP3).
Menurut Puput TD Putra (Direktur Eksekutif Walhi Jakarta), kejadian tersebut merupakan intimidasi yang keterlaluan dari Pemerintah daerah Kepulauan Seribu dan pihak perusahaan. “Seharusnya pemerintah mementingkan kepentingan masyarakat bukan malah melakukan pembiaran bahkan pro dan berafiliasi dengan perusahaan.” Kata Puput TD dalam rilis Tertulisnya.
Sahrul menambahkan, warga telah menempati Pulau Pari semenjak tahun 1900-an, telah membuat secara swadaya dermaga/pelabuhan. Pada tahun 1970 didirikan bangunan Lembaga Oseanologi Nasional (LON) yang di resmikan oleh Gubernur DKI Jakarta (Ali Sadikin, 1976) yang sekarang bernama UPT LIPI ( Unit Pelaksana Teknis Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Pada tahun 1989 masuklah PT. Bumi Raya lalu membeli pohon yang ditanam oleh warga, kemudian membeli rumah warga, namun tidak semua warga yang menjual pohon dan rumahnya. Selanjutnya tahun 1990-1993 perusahaan tersebut membeli tanah secara diam-diam tanpa sepengetahuan RT dan RW. Pada selang tahun 2013-2016 pihak perusahaan mengajukan pembuatan sertifikat tanah berupa SHM dan SHGB tanpa sepengetahuan pihak RT dan RW. Warga menilai pembuatan sertifikat tersebut cacat hukum dan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Karena perkembangan kepulauan seribu saat ini yang sangat pesat, sehingga sangat menggiurkan dijadikan lahan bisnis demi kepentingan kelas atas oleh karenanya ada beberapa oknum kepala pemerintahan yang tergiur membela swasta bahkan ada beberapa Pulau yang dijual kepada pihak asing walaupun harus menindas warga, padahal penjualan pulau sudah jelas melanggar hukum.
Sumber :
Puput TD Putra (Direktur Eksekutif Walhi Jakarta
Sumbernews.com