Masyarakat
nelayan Pulau Lancang yang sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan, dan
biasanya nelayan pulau lancang ini akan pergi kelaut antara jam lima sore hingga jam
setengah tujuh pagi namun demikian ada juga yang
pergi melaut antara jam enam pagi hingga jam 10 siang(biasanya nelayan pancing baronang
dan nelayan slulup/bubu). Selesai melaut pukul 05.30 WIB ikan hasil tangkapannya
kemudian dibawa ke pantai sekitar Pulau Lancang untuk dijual kepada
Pelele I (tengkulak) yang sebelumnya memberikan modal kerja dan atau pinjaman
kepada nelayan untuk konsumsi sehari-hari. Akibatnya nelayan Pulau Lancang
tidak mempunyai alternatif pilihan untuk menjual kepada siapa hasil tangkapannya
tersebut kecuali hanya kepada Pelele tersebut. Menurut teori ilmu ekonomi,
struktur pasar yang demikian ini dinamakan struktur pasar yang menganut sistim
Monopsoni dengan varian sistem ijon.
Antara pukul 05.30 s.d.. 06.00 WIB, sebelum ikan hasil
tangkapan nelayan tersebut dijual kepada Pelele I, ikan hasil tangkapan
tersebut biasanya disambang oleh masyarakat sekitar yang jumlahnya tergantung
dari hasil tangkapan, semakin banyak hasil tangkapan akan semakin banyak
masyarakat untuk nyambang dan demikian
sebaliknya.
Berdasarkan pengamatan penulis, prosesi nyambang ini sudah sedemikian
terpola dan secara sistemik berjalan dengan sendirinya, seolah-olah sudah
mengerti hak dan kewajibannya masing-masing dan hanya berlangsung pada
jam
itu saja (antara pukul 05.30 s.d.. 06.00 WIB).
Sedemikian terpolanya atau sistemiknya, maka setelah lepas
pukul 06.00 WIB masyarakarat
sadar dengan sendirinya berhenti dan tidak ada lagi yang nyambang.
Kemudian
banyaknya nyambangpun oleh warga masyarakat, selama ini tidak pernah menghabiskan
ikan hasil tangkapan nelayan, begitu pula sebaliknya apabila ikan hasil
tangkapan nelayan sedikit (hanya cukup untuk nelayan saja) maka masyarakat yang
nyambangpun tidak ada.
Selesai nyambang oleh masyarakat (antara pukul 06.00 s.d..
07.00 WI) ikan hasil tangkapan
nelayan kemudian dibawa ke dermaga timur Pulau Lancang untuk dijual kepada
Pelele I dengan cara tunai (apabila ada hutang piutang sebelumnya akan diperhitungkan).
Proses jual beli ini sangat cepat karena kapal feri ojek (transportasi) yang
mengangkut ikan, berangkat tepat pukul 07.00 WIB.
Setelah proses jual beli dari nelayan kepada Pelele I
selesai, kemudian ikan-ikan
tersebut
diangkut ke kapal feri ojek dan Pelele I untuk menjual kepada Pelele II yang
berada di pesisir pantai Rawa Saban Kabupaten Tangerang.
Sesampai di pesisir pantai Rawa Saban sebelum ikan turun
dari kapal, Pelele II sudah
berloncatan dari darat ke kapal feri untuk berebut ikan (kwawatir tidak kebahagian
ikan) kemudian masing-masing Pelele II menguasai ikan-ikan dari Pelele
I. Sementara itu tugas Nakoda kapal hanya melihat dan mengawasi proses
rebutan
itu (Nakoda kapal sudah hafal betul siapa-siapa saja Pelele II yang mengambil
ikan, karena tanpa dicatat).
Proses
jual beli yang terjadi disini tidak dilakukan secara tunai tetapi secara tempo (hutang)
menunggu hasil penjualan ikan dari Pelele II ke Pelele III.
Setelah diangkut seluruhnya oleh Pelele II dari kapal
feri, kemudian Pelele II menjual
ikan tersebut ke Pelele III yang dilakukan secara tunai. Setelah pembayaran tunai
dilakukan kepada Pelele II dari Pelele III, kemudian Pelele II membayarkannya
kepada Pelele I melalui Nakoda. Menurut penulis, jadi sebenarnya
fungsi
Pelele II ini hanya sebagai Broker (calo, perantara) saja yang mengambil keuntungan
penjualan melalui selisih penjualan antara Pelele I dan Pelele III. Misalnya:
Pelele I menjual ikan kue 100 kg seharga Rp. 2.500.000,- kepada Pelele II dengan
cara hutang, kemudian Pelele II akan menjual ikan tersebut kepada Pelele III seharga
Rp. 2.600.000,- secara tunai. Hasil penjualan dari Pelele III kemudian disetorkan
kepada Pelele I melalui Nakoda sebesar Rp. 2.500.000,- sehingga terdapat
selisih lebih sebesar Rp. 100.000,- yang merupakan keuntungan Pelele II.
Selanjutnya setelah Pelele III membeli ikan dari Pelele
II, ikan-ikan tersebut kemudian
dibawa oleh Pelele III menuju TPA (Tempat Pelelangan Ikan) Rawa Saban
untuk dilelang secara bersama-sama dengan Pelele III yang lain dalam jumlah yang
sangat besar. Para pembeli ini terdiri dari
para Agen-agen besar dan Pelele IV yang
proses jual belinya dilakukan secara transparan (terbuka/lelang) dan juga dilakukan
secara tunai.
Gambar
Tempat Pelelangan Ikan Rawa Saban Tangerang
Selesai lelang, agen-agen besar yang membeli kemudian
menjual atau mendistribusikan
ikan-ikan tersebut ke supermarket-supermarket besar diwilayah Jakarta dan atau ke restauran-restauran besar di Jakarta. Sedangkan Pelele
IV setelah membeli
dengan cara lelang di TPA kemudian menjual ikan-ikan tersebut ke pasar pasar tradisionil
diwilayah Kabupaten/Kota Tangerang.
Pada akhirnya, ikan-ikan yang ada di supermarket,
restauran dan pasar tradisionil akan
dijual kepada konsumen (masyarakat) yang proses jual belinya dilakukan baik dengan
cara hutang maupun tunai. Walaupun demikian tidak tertutup juga kemungkinan
ada warga masyarakat yang secara langsung membeli ikan melalui nelayan
Pulau Lancang, tetapi jumlahnya sangat kecil sekali.
Dari
penjelasan tersebut, menurut penulis terdapat bebarapa hal yang sangat menarik untuk
disimpulkan, sebagai berikut:
1.
Harga jual ikan yang karena proses/mekanisme pasarnya begitu panjang mengakibatkan
terjadi lonjakan harga yang sangat signifikan. Misalnya: harga ikan
kue di nelayan perkilo sebesar Rp. 20.000,- setelah sampai dikonsumen menjadi
sebesar Rp. 55.000,-. Harga jual ikan kembung di nelayan perkilo sebesar
Rp. 10.000,- sampai dikonsumen sebesar Rp. 22.000,-. Harga jual ikan kakap
merah (mati) dinelayan perkilonya sebesar Rp. 20.000,- sampai dikonsumen
sebesar Rp. 45.000,-. Harga cumi (sero) di nelayan perkilonya sebesar
Rp. 25.000,- sampai di konsumen sebesar Rp. 55.000,- dan seterusnya;
2.
Kualitas ikan hasil tangkapan nelayan, tentunya akan jauh menurun karena adanya
proses/mekanisme pasar yang begitu panjang, belum lagi stok (persediaan)
yang masih tersedia di agen-agen, supermarket dan restauranrestauran.
Oleh
karenanya ada istilah dari nelayan pulau Lancang bahwa ikanikan
yang
di konsumsi oleh konsumen/masyarakat itu adalah ikan yang sudah
lima kali mati, maksudnya sudah melalui lima tahab;
3.
Sisi positifnya proses/mekanisme pasar yang panjang ini adalah, menambah semarak
perekonomian masyarakat, selalu terbuka peluang pasar dan menyerap tenaga
kerja masyarakat kecil. Sisi negatifnya adalah mark up harga ikan yang terlalu
tinggi dan kualitas ikan menjadi kurang baik.
Diposkan oleh
–Rafik--
Berita Terkait :
Berita Terkait :
0 komentar:
Posting Komentar